Skip to main content

Mengawal bonus demografi Indonesia

Menurut prediksi komposisi penduduk atau lebih dikenal dengan istilah demografi, sejak tahun 2012 hingga tahun 2031, Indonesia akan menikmati bonus demografi, yaitu kondisi kependudukan yang menguntungkan karena memiliki banyak penduduk usia produktif. Secara matematis, kondisi bonus demografi dinyatakan hadir ketika perbandingan antara penduduk usia produktif (pemuda) dan penduduk usia tidak produktif (anak-anak atau manula) di bawah 50 persen. Jika semua usia produktif itu bekerja dan berpenghasilan, pendapatan bersama seluruh penduduk di sebuah negara akan jauh lebih besar dibandingkan dengan belanja pengeluarannya. Oleh karena itu, banyak negara kemudian menjadi kaya dan sejahtera karena bonus demografi. Contoh negera yang sejahtera karena bonus demografi adalah Korea Selatan dan Jepang.

Puncak bonus demografi Indonesia diperkirakan terjadi pada tahun 2028−2031. Jumlah angkatan kerja (15−64 tahun) pada tahun 2020-2030 akan mencapai 70%, sedangkan sisanya, 30%, adalah penduduk yang tidak produktif (di bawah 15 tahun dan diatas 65 tahun). Dalam perkiraan angka riil, penduduk usia produktif akan mencapai sekitar 180 juta, sementara penduduk usia non-produktif hanya 60 juta. Keuntungan kependudukan atau potensi bonus demografi itu akan hadir sepanjang tahun 1995−2050, dan puncaknya akan terjadi pada tahun 2020−2030. Pada kurun itu, rasio beban populasi anak-anak dan manula terhadap usia produktif berada pada posisi paling menguntungkan.


Bonus demografi bukanlah bonus dalam bentuk uang dolar atau lembaran saham perusahaan yang dapat digunakan membeli berbagai sarana hidup sejahtera. Bonus demografi hanyalah kondisi demografis yang bermanfaat jika kohort usia produktif yang ada benar-benar diproses menjadi pekerja produktif.

Bonus demografi yang akan berlangsung selama 17 tahun hingga 2030 ke depan, adalah potensi peluang sekaligus potensi bencana. Jika dimanfaatkan, bonus demografi akan menjadi pendongkrak keberhasilan pembangunan. Namun, jika dibiarkan tanpa penanganan serius, hal yang datang adalah bencana besar. Ketika bonus demografi mendatang adalah tanpa kesehatan, tanpa pendidikan, tanpa pekerjaan, dan tanpa moral, pastilah kurun bencana yang datang. Namun, jika mereka adalah generasi sehat, terdidik, serta memiliki pekerjaan dan penghasilan besar, dan bermoral, akan datang kemakmuran bagi Indonesia. Ujung dari semua itu adalah akan muncul sistem ekonomi yang memiliki banyak ragam pekerjaan baru beserta penghasilannya terhadap para penjual barang dan jasa. Dalam proses demikian, bonus demografi akan menjadi bonus yang benar-benar bonus karena bisa memekarkan dan mengaktifkan perekonomian nasional.

Namun, sebaliknya jika bonus demografi itu tidak ditangani dengan baik, ujungnya adalah 180 juta orang yang memiliki masalah-masalah: (i) menganggur karena tidak ada lapangan kerja; (ii) tidak bisa hidup bersabar karena jauh dari pembiasaan hidup beragama; (iii) berperilaku kriminal; (iv) eskapis, putus asa, dan penghayal berat karena dekat dengan narkoba plus judi; dan (v) beserta berbagai akibat berantai lainnya seperti perdagangan manusia (human trafficking), prostitusi remaja, korupsi, dan rusaknya proses adopsi payung institusi ke dalam perilaku. Dalam keadaan demikian, keadaan yang akan terjadi adalah kondisi yang benar-benar mengerikan karena perilaku manusia tidak lagi merujuk kepada payung institusi bersama yang bersifat memelihara fungsionalitas interaksi antarperan yang ada di tengah masyarakat.

Untuk menyelamatkan bonus demografi hingga benar-benar menjadi bonus dan bukan menjadi bencana, kita memerlukan dua langkah praktik yang penting:

1.  Menciptakan sumber daya manusia yang produktif

Upaya ini dapat dilakukan dengan meniru strategi materialisme pembangunan di negara yang pernah mengalami bonus demografi. Langkah untuk menciptakan sumber daya manusia yang produktif dapat dilakukan dengan cara mengupayakan agar bangsa Indonesia mengalami proses pendidikan yang diupayakan sampai jenjang perguruan tinggi. Melalui proses pendidikan yang baik sumber daya manusia yang ada akan mampu diciptakan menjadi sumber daya manusia unggul yang siap bekerja secara produktif, yang pada akhirnya menghasilkan kesejahteraan bersama bagi masyarakat Indonesia khususnya bahkan masyarakat dunia.

Jika kita perhatikan gambar atau diagram di atas, fokus dari lingkaran sistemik yang diperlihatkan gambar sesungguhnya the learner atau peserta didik dan guru merupakan faktor dominan yang dapat mempengaruhi mutu pendidikan. Peserta didik adalah manusia yang harus dirubah atau merubah diri di dalam arena kegiatan belajar mengajar pada lembaga pendidikan. Setelah dalam kurun waktu tertentu ia akan keluar dari lembaga pendidikan sebagai seorang lulusan yang telah berhasil dirubah atau merubah diri menjadi memiliki kompetensi atau kemampuan tertentu sesuai jenjang pendidikan yang dilaluinya.

2.  Menegakkan pendidikan nilai idealisme

Menegakkan pendidikan nilai idealisme bermakna bahwa pendidikan yang dilakukan bukan hanya untuk menciptakan manusia produktif, tetapi juga sekaligus bisa mencetak manusia baik yang berkarakter. Mendidik ibarat kita menanam pohon. Jika kita ingin atau berharap ada hasil pendidikan yang baik, untuk sebuah proses penanaman yang lengkap dan menjamin keberhasilan, tentu ada banyak hal yang harus dilakukan terhadap tanaman, agar tanaman bisa tumbuh sehat, cepat, dan produktif. Adapun lima langkah minimal dalam menanam pohon yang terencana adalah: (i) menyiapkan lahan; (ii) mengali lubang tanam; (iii) menanam; (iv) menyiram; dan (v) merawat dan mengontrol.

Peserta didik sebagai sumber daya manusia beradab yang harus siap menghadapi tantang kehidupan nyata seharusnya memiliki empat hal yaitu: logika, etika, estetika, dan spiritualita. Logika adalah kecerdasan intelektual atau kecerdasan akdemik, etika adalah kepatuhan kepada norma, estetika adalah nilai dan rasa keindahan, dan spiritualita adalah penghayatan hidup ber-Tuhan. Sehingga secara utuh, sumberdaya manusia beradab adalah insan yang pintar, yang patuh kepada nilai dan norma acuan perilaku masyarakatnya, yang memiliki cita rasa keindahan, serta yang religius atau beragama.

Dalam budaya Indonesia, keinginan mencetak manusia yang punya logika, etika, estetika dan spiritualita itu ber-representasi dalam ungkapan bahasa sunda yang berbunyi: cageur, bageur, pinter, bener jeung singer.

Cageur dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai sehat. Sehingga anak bangsa yang cageur adalah mereka yang tubuh dan jiwanya sehat, yang dengan sehat itu mereka dapat belajar di sekolah dengan baik dan dengan sehat itu pula setelah lulus kelak dapat bekerja dengan baik di tengah masyarakat.

Bageur berarti menjadi orang yang baik perilakunya adalah harapan dari setiap orang tua terhadap anak-anaknya. Tidak pernah ada orang tua yang berharap anaknya menjadi nakal atau menjadi pelaku kejahatan apalagi menjadi pecandu kejahatan. Bageur adalah juga komponen paling penting bagi kesuksesan sebuah bangsa membangun kesejahteraan. Sebab hanya dengan warga-warga yang bageur saja, sebuah masyarakat yang sejahtera bisa terwujud menjadi aman, tentram dan menenangkan. Betapa beruntungnya sebuah bangsa ketika setelah cukup secara ekonomi dikaruniai juga dengan warga-warga yang bageur. Bisa bekerja dengan tenang, bisa tidur dengan nyenyak, dan bisa nyaman berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

Pinter artinya cerdas, generasi pinter adalah harapan tertinggi dari para orang tua di Indonesia. Sejak dulu kala, hampir semua orang tua selalu berpandangan sama bahwa menyekolahkan anak adalah pekerjaan nomor satu dalam keluarga. Meski harus berhutang kesana dan kesini, orang tua di Indonesia akan selalu berusaha menyekolahkan anak-anaknya.

Bener yang berarti sesuai adalah penyempurna harapan orang tua kepada anak-anaknya yang pintar. Sebab orang tua akan sangat senang jika anaknya pintar lalu punya pekerjaan baik dan menjaga diri untuk hidup secara bener. Seringkali juga, meskipun gagal mencetak anak pintar karena tak punya biaya sekolah, para orang tua masih tetap merasa berharga ketika mereka merasa berhasil mencetak anak yang hidup bener.

Singer dalam bahasa sunda diartikan sebagai terampil atau pandai mempraktikan berbagai pengetahuan yang dikuasainya. Lebih lanjut singer juga sering dikaitkan dengan istilah maher atau mahir,yang artinya adalah kompeten dan ahli dalam menangani pekerjaan berdasar pengetahuan.

Penulis : Dr. H. Didang Setiawan, M.Pd

Popular posts from this blog

Definitions of Love

The definition of love is the subject of considerable debate, enduring speculation and thoughtful introspection. The difficulty of finding a universal definition for love is typically tackled by classifying it into types, such as passionate love, romantic love, and committed love. These types of love can often be generalized into a level of sexual attraction. In common use, love has two primary meanings, the first being an indication of adoration for another person or thing, and the second being a state of relational status. Love is an act of identifying with a person or thing, capable of even including oneself (cf. narcissism; reverence). Dictionaries tend to define love as deep affection or fondness.[1] In colloquial use, according to polled opinion, the most favored definitions of love involve altruism, selflessness, friendship, union, family, and bonding or connecting with another.[6] Thomas Jay Oord has defined love in various scholarly publications as acting intentionally, in sym

Membangkitkan Literasi Lokal

Penulis: Sofie Dewayani , Ketua Yayasan Litara, Anggota Satgas Gerakan Literasi Sekolah Kemendikbud Bungai ingin seperti Kak Putir, bisa menganyam tikar tapi Kak Putir tak mau mengajari. Bungai ingin seperti Kak Putir, punya banyak teman. Bungai ingin ikut bermain Basam bersama, tapi Bungai hanya boleh melihat saja. Diam-diam Bungai mengikuti Kak Putir ke sanggar. Bungai meniru gerakan Kak Putir menari. “Bungai! Anak laki-laki tak boleh menari tarian Bahalai,” kata Kak Putir. Bungai melihat dan menirukan orang menari Mandau. Hore! Ternyata ada tarian yang cocok untuk Bungai. Bungai dan Kak Putir menari bersama. Mereka bisa menari Manasai bersama-sama. GURU-GURU SD dari Kabupaten Pulang Pisau, Kotawaringin, dan beberapa kabupaten lain di Kalimantan Tengah itu takjub akan lontaran ide-ide tentang kekayaan budaya lokal yang dapat mereka tuangkan saat mengadaptasi buku cerita anak Ketika Gilang Ingin seperti Kak Sita, yang berlatar budaya Jawa. Karya guru-guru ini menampilkan tokoh ce